Monday, December 6, 2010

iqrar bi al-lisan & tasdiq bi al-qalb

0
10:08 PM
Sempena Maal Hijrah 1432
drpd : http://sahlasyair244.blogspot.com/

KONSEP IMAN
MENURUT PAHAM MURJI'AH





Perbincangan mengenai iman berawal pada masa sepeninggalan khalifah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Di mana pada saat itu juga muncul adanya konsep kufur atau kafir yang timbulnya karena terjadi peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Mu'awiyah, seorang Gubernur Damaskus yang tidak setuju atas pemerintahan Ali, maka pertempuran yang terjadi ini dinamakan perang Shiffin. Ketika pasukan Ali hampir memenangi pertempuran tersebut, pembantu kanan Mu'awiyah, ‘Amr Ibn Al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, meminta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan pengantara (arbitrase/tahkim). Sebagai pengantara maka dilantiklah dua orang dari masing-masing pihak, yaitu ‘Amr Ibn Al-‘As dari pihak Mu'awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Kesimpulan dari arbitrase tersebut adalah merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak Mu’awiyah, maka kemudian Mu’awiyah dengan sendirinya dianggap sebagai khalifah tidak resmi.

Sebagian dari pengikut Ali tidak setuju dengan pengantara (arbitrase) tersebut, oleh karena itu mereka meninggalkan barisan Ali. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Khawarij. Dengan demikian, gambaran dari persoalan-persoalan politik inilah akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Golongan Khawarij ini memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, ‘Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase itu adalah kafir, karena mereka semuanya tidak kembali menetapkan hukum kepada al-Quran seperti yang dimaksud firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 44: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.

Dari ayat itulah mereka mengambil semboyan la hukma illallah karena keempat-empat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam. Dan mereka mesti dibunuh. Tetapi yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kaba'ir. Persoalannya ialah, masihkah dia mukmin ataukah dia menjadi kafir karena melakukan dosa besar?

Dengan demikian, persoalan politik yang timbul inilah membawa perpecahan dikalangan umat Islam, juga membawa timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam persoalan pertentangan ini, timbul suatu golongan baru yang bersifat netral, yaitu golongan Murji'ah. Kaum murji'ah mulai menanggapi persoalan-persoalan teologis yang mencakup iman, kufur, dosa besar dan hukuman atas dosa. Hal ini nampaknya memicu perbedaan pendapat dikalangan para pendukung murji'ah sendiri, akhirnya kaum murji'ah pecah menjadi beberapa golongan kecil, yaitu Golongan Murji'ah Moderat yang berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan dan golongan Murjiah Ekstrim yang berpendapat bahwa iman hanya pengakuan hati (tasdiq bi al-qalb).



Murji'ah Ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya, mengakui dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul-Nya. Berangkat dari konsep ini, Murji'ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar, bahkan mengatakan kekufurannya secara lisan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani.
Menurut mereka, iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman, karena yang penting menurut mereka adalah tasdiq dalam hati. Alasannya bahwa iman dalam bahasa adalah tasdiq sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak dinamakan tasdiq. Tasdiq itu merupakan persoalan dalam hati sedangkan perbuatan urusan anggota tubuh (al-arkam) dan di antara keduanya tidak saling mempengaruhi. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain. Sedangkan perbuatan-perbuatan seseorang tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Kredo kelompok Murji'ah Ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji'ah Ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.



Sedangkan golongan Murji'ah Moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari pembenaran dengan hati (tasdiq bi al-qalb) dan pernyataan dengan lisan (iqrar bi al-lisan). Pembenaran hati saja tidak cukup ataupun dengan pengakuan dengan lisan saja, maka itu tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsur iman itu tidak dapat dipisahkan. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Jadi jika pelaku dosa besar menurut mereka bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, ketika ia meninggal dunia dan belum sempat bertaubat dari dosa-dosanya maka nasibnya di akhirat terletak pada kehendak Allah, apabila Allah mengampuninya maka ia terbebas dari neraka dan masuk surga, namun jika ia tidak mendapat ampunan dari-Nya maka ia masuk neraka dan kemudian baru dimasukkan surga. Adapun orang yang berdosa kecil, dosa-dosanya akan dihapus oleh kebaikan, seperti ibadah shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya yang dijalankannya. Oleh karena itu, dosa-dosa besar maupun dosa-dosa kecil tidak dapat membuat seseorang keluar dari iman.

Dari uraian di atas, pendapat yang dikatakan oleh Murji'ah Moderat dapat diterima oleh kaum Asy'ariyah karena pendapatnya tersebut identik dengannya dan berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Murji'ah Ekstrim, pendapatnya dianggap menyimpang dari norma-norma yang dipakai oleh masyarakat biasanya, terutama yang terkait dengan akhlak atau moral yang berlaku. Tampaknya ajaran yang dibawa oleh kaum Murji'ah Ekstrim hanya mementingkan iman saja, sedangkan moral dianggap kurang penting baginya. Karena itulah nama Murji'ah Ekstrim dipandang tidak baik oleh sebagian masyarakat.

Mungkin jika melihat definisi yang dijelaskan oleh Abu Hanifah mengenai iman, lebih berbeda lagi dari sebelumnya. Menurut Abu Hanifah, iman adalah pengetahuan (ma'rifah) tentang Tuhan sekaligus mengakui-Nya dan tentang Rasul serta mengakui wahyu yang dibawanya. Selain itu juga ia meyakini bahwa iman adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi dan tidak dapat bertambah ataupun berkurang. Jelasnya, iman yang dimiliki oleh orang yang berdosa besar tidak ada bedanya dengan iman yang dimilki oleh orang yang taat menjalankan perintah-perintah Tuhan.

Tetapi jika dibandingkan dengan kaum Mu'tazilah yang dikenal kaum rasionalis Islam, mungkin karena mereka memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal, sehingga mereka mengatakan bahwa iman itu bukan diartikan sebagai tasdiq dan bukan pula ma'rifah, tetapi iman menurut mereka adalah suatu perbuatan yang timbul setelah mengetahui Tuhan. Dengan kata lain adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Konsep iman yang diuraikan oleh kaum Mu'tazilah ini sejalan dengan apa yang digambarkan oleh Muhammad Abduh. Di mana iman itu erat kaitannya dengan amal dan ia menjelaskan bahwa iman baginya adalah 'ilm (pengetahuan), i'tiqad (kepercayaan) atau yaqin (keyakinan). Oleh karenanya ia tidak menggambarkan iman sebagai tasdiq.

Asy'ariyah juga menegaskan bahwa iman tidak bisa diartikan sebagai ma’rifah atau amal, oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariyah adalah tasdiq dan memiliki batasan iman (al-tasdiqu bi Allah) yaitu menerima kebenaran khabar tentang adanya Tuhan. Tak lain juga dengan golongan Maturidiyah Bukhara, golongan ini mempunyai paham yang sama dengan Asy’ariyah yaitu iman tetap harus merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dan menyatakan dengan lisan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan Dia.



Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman harus berkedudukan lebih dari tasdiq, karena menurut mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Dan mengenai batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiyah Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah Samarkand iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah dan amal. 

About the author

Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

0 comments:

Info Klik

Twitter@nadikarusan

    follow me on Twitter